Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 18 Januari 2010

Syar'u Man Qoblana

Pendahuluan

Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana.

Dalam makalah ini penulis akan hanya membatasi pembahasan mengenai dalil syar’i yang masih diperselisihkan yaitu Syar’u man Qoblana.

Latar belakang

· Kasus

Nabi Muhammad SAW adalah nabiyullah yang terjaga dari dosa baik sebelum beliau diutus menjadi rosul ataupun belum. Beliau juga terpelihara dari sifat jahiliyah yang menjadi budaya dalam keseharian kaum arab. Fakta ini menimbulkan berbgai macam pertanyaan yang berkecamuk dalam diri kaum muslim saat ini. Bila beliau adalah insan yang taat beribadah, hamba Allah yang mulia maka siapakah yang ia teladani dalam hal ini? Siapakah atau syari’at apa yang menjadi pedoman dalam keseharian beliau sebelum beliau diutus menjadi Rosulullah SAW? Lantas apakah syariat-syariat tersebut harus kita jalankan? Padahal kita umat muslim telah memiliki syariat sendiri yang disebarkan oleh ajaran Rosulullah SAW yaitu syariat Islam. Wallahu’alam bisshowaab.

Pembahasan

Sebagian mazhab malikiyah membagi beberapa syrari’at (dalam hal inipun masih terdapat perbedaan pendapat) yang diikuti oleh Rosulullah SAW yaitu: · Syariat Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.

· Syariat Nabi Nuh AS

Firman Allah:

(شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا)

· Syariat Nabi Ibrahim AS

Firman Allah:

إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي"

"أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا"

· Syariat Nabi Musa AS

· Syariat Nabi Isa AS, dikarenakan masa kenabian Nabi Isa As dan Nabi Muhammad SAW adalah yang paling dekat jaraknya.

Pendapat Imam lainnya

Imam Syaukani berpendapat bahwa syariat Nabi Ibrahim As-lah yang diikuti oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan Al-Baidhowi berpendapat bahwasanya Rosululah tidaklah mengikuti syariat nabi-nabi terdahulu. Sedangkan dalam perspektif Al-Amudi, Qadi Abdul Jabbar dan Al-Ghazali, bahwa sebenarnya Nabi bersyariat menurut kacamata keebenaran hati Nabi sendiri tanpa merujuk pada syariat nabi sebelumnya. Begitu juga pendapat para ulama Mutakallimin yang menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum diutus tidak mengikuti syariat siapapun.

Definisi Syar’u Man Qoblana

Syariat yang Allah turunkan pada tiap Nabinya untuk didakwahkan pada masing-masing umatnya yang dibenarkan dengan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Pendapat mengenai pengamalan Syar’u Man Qoblana

Apakah syariat nabi-nabi terdahulu masih terpakai atau wajib hukumnya diamalkan pada masa kenabian Muhammad SAW dan umatnya? Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan bahwa apabila syariat nabi-nabi sebelumnya ditegaskan kembali dlam Al-Qur’an dan Al-Hadits seperti Aqidah (beriman pada Allah dan tidak meyekutukannya), puasa, zina, pencurian, dan hukum-hukum lainnya, maka secara otomatis hukum tersebut wajib kita amalkan juga (kita: umat muslim).

Akan tetapi bila tidak terdapat pada nash atau bahkan dihapuskan dan diganti dengan hukum baru yang terdapat dalam nash Al-Qur’an maka kita tidak boleh mengamalkan syariat nabi terdahulu karena telah diganti oleh hukum Islam, seperti hal sholat, penebusan dosa, thoharoh dari najis dan lain sebagainya.

Kesimpulan: Macam-macam Syar’u Man Qoblana

Para ulama membagi Syar’u Man Qoblana menjadi dua bagian yaitu:

a. Hukum atau syariat terdahulu tidak disyariatkan kembali dalam AlQqur’an dan Al-Hadits. Maka kesepakatan para ulama adalah bahwa hukum ini bukanlah hukum yang berlaku bagi umat Islam.

b. Hukum yang disebutkan kembali dalam Al-Quran dan Assunah. Bagian yang kedua ini diklasifikasikan menjadi tiga hukum yaitu:

1. Wajib hukumnya untuk diamalkan

Jika Al-Qur’an dan Sunnah menceritakan kembali mengenai hukum syariat pada umat terdahulu, dan kemudian Al-Qur’an dan Assunah pun mewajibkan pada kita sebagaimana yang Allah wajibkan pada masa umat terdahlu maka kita pun wajib untuk melakukan perintah tersebut. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah 183:

تتقون لعلكم قبلكم من لذين اعلى كتب كما الصيام عليكم كتب آمنوا الذين أيها يا

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

2. Tidak diamalkan

Jika syari’at yang telah ditetapkan pada umat terdahulu dihapuskan atau diganti maka kita tidak diperbolehkan mengamalkan syariat tersebut, karena syariat tersebut tidak disyariatkan pada kita umat Islam. Seperti hukum mengenai penebusan dosa yang dilakukan oleh umat nabi Musa, bahwa tidak akan terampuni dosa seorang hamba kecuali dengan penebusan nyawanya sendiri (bunuh diri) sedang dalm syari’at Islam jelas haram hukumnya bunuh diri, dan cara menebus suatu kesalahan adalah dengan taubatannasuha pada Allah SWT.

3.

Sebenarnya masih terdapat satu hukum lagi, yaitu bagaimana bila hukum terdahulu tidak dihapuskan atau tidak benarkan pula dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits (menggantung, tidak jelas dan tegas mengenai wajibnya suatu hukum untuk diamalkan). Dalam hal ini banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama:

· Jumhur Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah

Yang cenderung mengatakan bahwa jika hukum tersebut shohih dapat kita amalkan, karena secara tidak langsung hukum terdahulu tidak terhapus, itu berarti juga tetap menjadi syariat umat terdahulu yang berlaku bagi kita umat Islam. Seperti halnya diamnya Rosulullah atas suatu perkara, tidak membenarkan tidak pula menyalahkan (Taqririyah)

Contoh dalam surat Al-Maidah ayat 32

“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”

· Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan kalangan Syafi’iah (Syafi’iah yang rojih)

Apabila syariat kaum terdahulu tidak ditegaskan kembali dalam Al-Quran dan Assunah maka syariat terdahulu tidaklah menjadi bagian dari syriat umat Islam saat ini. Pendapat ini juga disepakati oleh jumhur ulama, Al-Ghazali, Al-Amadi, dan Ibn Hazm.

v Dalil yang menjadi hujah para ulama yang berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :

1. Kewajiban menqadha shalat fardhu berdasarkan Hadits nabiBarangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qodho-lah kalau nanti sudah ingat” dan firman Allah: “Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadits di atas. Sedangkan ayat tersebut ditunjukkan pada Nabi Musa As.

2. Al-Maidah ayat 5 mengenai permasalahan Qishas. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas.

v Dalil yang menjadi hujah pengingkaran akan beralkunya syariat umat terdahulu sebagai syariat kita yaitu :

1. Allah berfirman bahwasanya telah menciptakan syariat pada masing-masing umat dengan syariat yang berbeda-beda.

2. Seandainya umat Islam wajib mengikuti syariat umat terdahulu niscaya Nabi wajib mempelajari syariat tersebut, begitu pula dengan kita sebagai umatnya.

Penutup

Adanya perbedaan pendapat mengenai legalitas syar’u man qoblana untuk dijadikan dalil dan sumber hukum Islam tidaklah membuat para ulama saling merasa diri mereka benar dan melecehkan argumen ulama lainnya yang tidak sependapat, semakin banyak perbedaan menunjukkan bahwa manusia benar-benar dikaruniai akal yang luar biasa. Tiap ulama memiliki hujahnya masing-masing yang sama-sama kuat. Semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling mengetahui akan kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syar’u man Qoblana mendatangkan manfaat dan kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan mengamalknannya.

Demikianlah resume dari penulis mengenai Syar’u Man Qoblana, semoga bermanfaat, adapun bila terdapat banyak kesalahan, penulis mohon maaf sebesar-besarnya, karena keterbatasan ilmu dan referensi yang benar-benar shahih yang penulis miliki. Wallahu a’lam.

1 komentar: