Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 18 Januari 2010

Profit and Rugi

BAB I PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam adalah sumber samudra ilmu yang tak pernah luput dari penafsiran di setiap ayatnya, bahkan hurufnya sekalipun. Al-Qur’an sendiri diturunkan Allah sebagai kitab terakhir bagi umat Muhammad SAW, yang artinya bahwasanya Al-Qur’an akan kekal hingga akhir zaman kelak.
Sebagai kitab yang menjadi dasar atau undang-undang bagi seluruh umat manusia. Ayat-ayatnya pun memiliki makna yang muhkam dan mutasyabih dan dibutuhkan banyak rujukan untuk memperdalam kancah keilmuan kita dalam memahami apa yang tersirat dari kandungan firman-Nya.

Dalam penulisan ini penulis menitik beratkan masalah teori ta’dzimuuribh dan taqliilulkhosaair dalam pandangan ulama ekonom Islam dan ekonom konvesional yang dikembalikan kembali pada Al-Qur-an dan Al-Hadits. Yaitu pada dasar tiap apa yang kita perbuat (sesuai dengan fitrahnya) manusia senantiasa menginginkan profit yang besar dan mensiasati bagaimana agar dirinya tidak mengalami kerugian.

I.II TUJUAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir. Penulisan makalah bertujuan untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi pembaca mengenai salah satu hukum ekonomi yaitu pemaksimalan untung dan peminimalisiran rugi.

I.III METODE PENULISAN

Penulis mempergunakan metode observasi dan kepustakaan. Cara-cara yang digunakan adalah Studi Pustaka, yakni penulis mengolah berbagai data yang berkaitan denga penulisan makalah ini.

BAB II PEMBAHASAN

Definisi

Memaksimalkan secara bahasa adalah kata turunan dari maksimal yang berarti sebanyak-banyaknya; setinggi-tingginya; tertinggi. Sedangkan memaksimalkan memilki arti menjadikan maksimal; menjadikan sebanyak-banyaknya. Keuntungan diartikan sebagai: hal mendapat untung (laba); kemujuran; kebahagiaan; manfaat; faedah. Meminimalkan secara bahasa adalah kata turunan dari minimal yang berarti menjadikan minimal; lebih kecil; lebih sedikit. Kerugian diartikan sebagai: menanggung atau menderita rugi; perihal rugi; sesuatu yang dianggap mendatangkan rugi (tentang kerusakan); ganti rugi.

MEMAKSIMALKAN KEUNTUNGAN

Perspektif Ekonom Konvensional

Cara mendapatkan keuntungan

Menjelang revolusi Industri di Eropa, aktifitas perdagangan dan keuangan meningkat pesat. Pada kurun ini muncul para pakar ekonomi semisal Adam Smith, D Ricardo, John Stuart Mill, Edgeworth, Marshal, dan lain-lain. Menurut Adam Smith dan Ricardo, bunga uang merupakan suatu ganti rugi yang diberikan oleh si peminjam kepada pemilik uang atas keuntungan yang mungkin diperolehnya dari pemakaian uang terse¬but. Pada hakekatnya penumpukan barang atau modal dapat beraki¬bat ditundanya pemenuhan kebutuha lain, dan orang tidak akan berbuat demikian kalau mereka tidak mengharapkan suatu hasil yang lebih baik dari pengorbanan yang telah mereka lakukan. Dengan demikian, bunga uang adalah hadiah atau balas jasa yang diberikan kepada seseo¬rang karena dia telah bersedia menunda peme¬nuhan kebutuhannya.

Syariat Islam yang mulia juga menetapkan hukum zakat, fai’, waris terha¬dap harta dengan jumlah dan timbangan tertentu, serta melarang menimbun uang untuk menghindari penimbunan sumber-sumber uang/mo¬dal yang menganggur, yang tidak digu¬nakan untuk usaha-usaha pro¬duktif lewat jalan-jalan yang ditentukan oleh syara’. Mahabenar Allah dengan firma-Nya:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS Al Hasyr 7).
Ayat ini menunjukkan bahwa harta /modal harus beredar di antara manusia, sekaligus mendorong manusia agar senan¬tiasa berusaha dengan usaha-usaha produktif yang tujuannya untuk mempercepat pertum¬buhan modal.

• Dalam Islam, capital maintenance adalah esensial sebagai profit yang diakui hanya setelah modal dikembalikan, konsep ini memiliki dukungan tinggi dalam hadis Rasulullah Saw, yang meruapakan sumber kedua setelah Al-Qur’an
Rasulullah bersabda:
" the believer is likened unto the merchant. Just as the merchant's profit is not complete until his capital is restored, so too are the believer's supererogatory works incomplete until his prescribed duties have been fulfilled"

Udovitch (1970) mengutuip contoh ekstrem dalam Mabsut-nya Sarkashi dimana situasi hipotetis didiskusikan oleh ulama’ hukum Islam, jika seorang investor memberikan sejumlah 1000 dirham sebagai modal tetap kepada sekutu pasifnya, profit akan dibagi 50:50, dan sekutu tersebut menghasilkan 1000 dirham lagi. investor ini membagi profit 500 dirham yang didistribusikan kepada investor sementara sekutunya membelanjakan setengahnya namun tetap mempertahankan modal asli 1000 dirham. Partner tersebut melanjutkan berdagang dan kehilangan modal 1000 dirham, distribusi awal menjadi kosong dan partner tersebut harus membayar kembali kepada investor bagiannya sebesar 500 dirham karena menurut ulama’, modal penuh 1000 dirham tersebut belum sepenuhnya dikembalikan kepada investor. 500 dirham yang sebelumnya didistribusikan merupakan return of capital dan ia masih hutang 500 dirham lainnya modal asli investor. Prinsipnya adalah bahwa partner tidak mengambil bagiannya sebelum modal dipertahankan dan dikembalikan kepada investor. Semenjak ia telah mengambil bagian keuntangannya, ia harus mengembalikan modal investor tersebut. Jumlah yang ditahan dalam bisnis bukanlah 1000 dirham modal asli namun 500 dirham dari modal dan 500 dirham dari keuntungan.

Perspektif Ulama Ekonom Islam

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu) , dan penuhilah janji Allah . yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (Q.S Al-An’am: 152)

Huruf ahsan dari ayat di atas yang berbunyi illa billatii hiya ahsan menunjukkan bahwa manusia itu harus berbuat sesuatu yang terbaik, bukan hanya sekedar baik serta memerintahkan kita agar tidak memakan harta anak yatim kecuali dengan cara yang terbaik, yang paling banyak manfaatnya daripada madhorotnya, yaitu dari hasil harta anak tersebut bukan dari harta pokoknya. Sedangkan Imam Rozy mengkritisi penafsirannya yaitu bahwa ahsan di sini merupakan cara terbaik agar harta anak yatim tersebut dikelola sebaik-baiknya, dengan cara yang terbaik dan mendapatkan hasil (profit) yang terbaik pula.

Adapun beberapa ulama juga menafsirkan surat Annisa’ ayat 6. yaitu Imam Thobari berkesimpulan: Janganlah memakan harta anak yatim kecuali dari hasil investasi (diambil dari harta pokok anak yatim yang kemudian dikembangkan), disalurkan dengan baik dan kehati-hatian agar harta anak tersebut tidak berkurang atau habis. Begipula dengan Imam Mujahid berpendapat bahwa cara agar harta tersebut berkembang yaitu dengan memperdagangkannya (agar uang tersebut berputar dan mendapatkan laba).

Hukum pemaksimalan profit dibagi menjadi empat yaitu:
• Jika ada dua hal yang sama dalam skala prioritas yang baik kecuali keuntungannya (ada yang sedikit keuntungannya dan ada yang lebih besar keuntngannya) maka kita harus memilih yang paling banyak mendatangkan keuntungan. Termasuk orang yang bodoh apabila lebih memilih yang lebih kecil keuntungannya. Dalam hal ini orang yang asal-asalan disebut aswaiyyah.
• Jika ada dua proyek yang sama dalam segala hal kebaikannya kecuali masanya, maka pilihlah yang paling cepat masanya dalam meraih keuntungan. Karena secara skala proritas, yang lebih cepat mendatangkan keuntungan memiliki nilai manfaat lebih besar dari pada yang lebih lama masanya untuk mendatangkan keuntungan.
• Apabila terdapat istiwayya atau berimbang dalam segala hal kecuali pendapatan dan pengeluarannya, maka pilihlah yang pendapatannya paling tinggi dan pengeluarannya paling sedikit. Inilah sistem atau ilmu Islam sebelum berdirinya ilmu ekonomi di Ghorbi atau Barat.
• Dan jika ada dua barang yang nilainya sama-sama baik dan bermanfaat, maka kita diperbolehkan melakukan khiyar. Yaitu memilih yang sesuai dengan selera kita.

Meminimalisasikan Kerugian
Perspektif Ulama Ekonom Islam

“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”(Q.S Al-Kahfi ayat 71).

Dalam ayat tersebut mengisahkan perdebatan antara Khidzir dan Nabi Musa as mengenai siasah metode pengambilan keputusan yang keduanya sama-sama mengakibatkan kerugian bagi si pemilik perahu. Kemudian Khidzir melubangi perahu milik nelayan miskin tersebut. Hal ini dimaksudkan agar perahu tersebut tidak dijarah oleh Al-Malik. Namun Nabi Musa meragukan cara yang dipilih oleh Khidzir. Akhirnya kapal tersebut tidak dirampas, karena kapal tersebut sudah rusak dan tidak ada manfaatnya bagi mereka.
Coba kita telaah dari apa yang dilakukan oleh Khidzir, mengapa beliau memutuskan untuk melubangi kapal tersebut? Mengapa tidak menggunakan cara lain? Sungguh ini adalah pilihan yang cerdas, bila kapal tersebut tidak dilubang maka hilang sudah kesempatan bagi nelayan untuk bekerja mencari nafkah demi memenuhi kebutuhannya karena perahu tersebut dirampas oleh para perampok, namun jika hanya dilubangi bukankah perahu tersebut masih bisa diperbaiki dan dapat dipergunakan kembali untuk bekerja, yang berarti kerugian tersebut bersifat sementara. Khidir mengambil langkah ini karena beliau telah mempertimbangkan manakah yang terkecil kerugiannya karena apa yang dihadapannnya itu keduanya memiliki kemudhoratan.
Begitu pula hikmah mengenai Nabi Musa bahwasanya kita dilarang untuk menyombongkan diri karena ilmu. Betapapun banyaknya ilmuyang kita miliki tidaklah mungkin menandingi ilmu Allah yang maha luas, bahkan oleh rasul seperti Musa sekalipun. Yang kemudian Musa diperingatkan Allah dengan dipertemukan oleh Khidzir, Nabi yang memiliki ilmu yang lebih dalam dibanding dengan Musa.


“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (Q.S. Al-Kahfi: 79)
Imam Rozi menafsirkan bahwa sesungguhnya apa yang dilakukan Khidzir karena beliau telah mengetahui jika kapal tersebut tidak dilubangi maka akan dirampas. Dengan dilakukannya perusakan kapal tersebut maka kapal itu tidak akan dirampas karena dinilai sudah tidak ada gunanya. Sehingga meskipun sudah rusak, namun hak kepemilikan masih ada di tangan pemiliknya. Tetapi perlakuan tersebut (melubangi kapal) wajib dilakukan karena secara sudut pandang realita tidak menghilangkan kemanfaatan kapal secara keseluruhan. Khidhr juga telah mempertimbangkan pelubangan kapal tersebut diantara dua kerugian yaitu rusaknya kapal itu sendiri atau rusak dan hilangnya kepemilikan kapal tersebut.

Surat Al-Kahfi: 79 menerangkan sesuai skala prioritas bahwa perusakan kapal yang dilakukan akan memberikan nilai lebih baik dari pada menyerahkan kapal tersebut kepada perampok yang sudah menghadang di depan mata. Harapannya adalah kapal orang miskin tersebut dapat diselamatkan kepemilikannya dari kejahatan raja yang selalu merampas kapal-kapal yang masih utuh saat berlayar di lautan lepas.

Hukum peminimalisasian kerugian terbagi menjadi dua yaitu:
• Jika ada dua hal yang baik dan yang buruk mak jelas kita akan memilih an baik lebih dahulu yang mendatangkan manfaat daripa yang mendatangkan kerugian.
• Jika ada dua hal yang bersifat madhorot, pilihlah salah satunya yang paling ringan diantara keduanya.


BAB III: PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Subhanallah, sungguh sebenarnya umat Islam telah dikaruniai ilmu yang luar biasa, yang dapat dipetik dari tiap ayat-ayatnya. Bahkan dahulu para sahabat dan tabi’in telah menyebarluaskan ilmu mereka dalam berbagai bidang. Membuat teori berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits namun ternyata saat ini kemunduranlah yang kita alami. Kita didahului oleh kaum Nasrani yang hanya berbekal copy paste atau menerjemahkan buku-buku yang dikarang oleh ulama dahulu. Karenanya mari mulai saat ini kita bangkitkan kembali apa yang menjadi kepunyaan umat Islam sebenarnya. Bukan dengan meniru atau memakai teori kapitalis namun menelaah kembali kita-kitab ulama kemudian kita coba mentransfer ilmu tersebut untuk diterapkan kembali dalam kehidupan kita sehari-hari.
Seperti halnya dalam memperoleh keuntungan kita harus benar-benar mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan, jangan seperti teori kapitalis yang mengagungkan interest (bunga) yang telah jelas haram hukumnya. Atau dengan spekulasi yang merugikan pihak lainnya demi meraup keuntungan sebesar-besar. Islam telah mengatur semuanya, sesuai dengan syari’at yang Allah perintahkan, bahkan dalam hal mensiasati suatu kerugian kita tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan. Selalu ada pilihan dalam hidup kita, dan kita harus memutuskannya dengan membuat pilihan yang benar. Wallahu a’lamu ala kulli haal.
Demikianlah kesimpulan penulisan makalah ini, semoga dapat menjadi langkah awal bagi penulisnya –secara khusus- untuk semakin memahami keindahan Islam melalui disiplin ilmu Tafsir di masa datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar